“Buat apa, Pak?” Mereka mempertanyakan, disertai tawa.
Saya memang sering meminta peserta pelatihan/seminar/diklat untuk meluangkan waktu bermain ayunan dan prosotan. Atau apapun mainan anak yang ada di sekitar tempat pertemuan itu.
Ini agar para guru anak usia dini kembali merasakan “sesuatu” dari kegiatan itu.
Awalnya mereka menganggap hal ini lelucon. Kenapa sudah jadi guru pun masih disuruh mainan itu. Bagi mereka itu tidak penting. Lebih baik belajar memperdalam teknik mengajar dan cara membuat desain pembelajaran.
Disinilah hambatan komunikasi antara guru dan murid berawal. Kita seringkali gagal memahami situasi yang ada pada diri anak. Kita sering abai dengan hal detil, padahal yang kita urus adalah anak kecil. Kalau ini dilakukan di awal-awal menjadi guru, mungkin bisa dimengerti karena teknik mengajar dan desain pembelajaran yang mempersyaratkan adanya kelekatan (bonding) kadang tidak include dibahas dibanyak penjelasan dan di dalam buku-buku teori.
Memintanya bermain ayunan adalah pengantar sebelum saya menjelaskan tentang pentingnya memahami dan membangun kelekatan sebagai awalan berkomunikasi dengan anak. Di 1- 4 tahun pertama menjadi guru anak usia dini, saya suka melakukan ritual bermain ayunan itu. Itu membantu saya memahami anak, mengerti situasi jiwa dan psikologisnya, dan bisa turut serta merasakan apa yang dirasakan anak saat bermain. Itu penting saat ingin menekuni dunia anak.
Ini contoh komunikasi guru dan murid. Hasil pengamatan supervisi saya. Dulu. Tahun-tahun sebelum zaman Tik Tok.
1. “Ayo masuk kelas. Jangan main ayunan terus,”
2. “Perhatikan tangan ibu, jangan lihat-lihat lagi keluar. Bermain-nya sudah selesai,”
3. “Jadi begini caranya, …..”
4. “Yang tidak bisa, nanti belum boleh main,”
5. “Kok seperti ini, ayo ulangi lagi, makanya jangan banyak bermain,”
6. “Ingat ya, waktunya bermain, silahkan bermain. Tapi waktunya belajar, ya belajar,”
Sekilas, sepertinya interaksi dan komunikasi di atas itu biasa, wajar dan malah mengandung unsur positif. Apa itu? Guru tersebut perhatian, memberi pengetahuan, mengajarkan disiplin dan memberi target. Sah-sah saja berpendapat demikian.
Saya juga ingin berpendapat, memberikan perspektif dari sudut yang lain..
Kalimat no.1, merupakan bibit bagi tumbuhnya blocking guru terhadap murid. Kalimat ajakannya jelas tapi di kalimat larangannya ada “tone” kecewa guru pada murid yang sedang main ayunan. Dari kalimat itu, anak hanya akan memahami bahwa gurunya tidak suka dengan aktifitasnya. Bahayanya, anak juga akan menganggap bahwa gurunya juga tidak suka dengan dirinya.
Kalimat no.2, memperburuk situasi kebatinan anak. Intensitas kecewa guru semakin bertambah. Anak akan kembali menganggap bahwa gurunya semakin tidak suka dengan aktifitas bermainnya. Bahkan disimpulkannya ke dirinya. Ini terjadi karena anak masih menggunakan pemahaman linier, belum mampu berfikir perspektif. Yang dipahaminya adalah yang dilihat, belum yang tersirat.
Kalimat no.3, guru mulai menjelaskan dengan otoritasnya. Sementara anak belum “in line”, gara-gara kalimat no.1 dan no.2.
Kalimat no.4, guru mulai memberikan target. Dan bagi anak ini adalah ancaman. Apakah kita mengharapkan murid bisa memahami penjelasan dengan baik di situasi psikologis seperti ini? Itu hal yang konyol. Kalaupun murid bisa mengerti penjelasannya, itu karena otak sponse-nya. Di dalam hati, kekesalannya pada guru telah menjejak dan membercak. Tapi umumnya, di situasi seperti ini, anak tidak bisa menerima penjelasan gurunya.
Kalimat no.5, guru sudah mengganggap muridnya tidak bisa karena terlalu banyak bermain. Guru tidak menyadari bahwa ini semua karena interaksi permulaannya yang sudah salah. Disinilah guru kadang menyimpulkan 2 hal. Yaitu (1) Merasa perlu terus memperbaiki teknik mengajarnya, meskipun sebenarnya ini masalah kelekatannya dengan murid yang belum terjalin. (2) menganggap bahwa murid ini memilki tingkat pemahaman yang rendah, fokusnya kurang, dan terlalu banyak main. Bisa dibayangkan bagaimana kegagalan proses belajar, karena berangkat dari 2 kesimpulan yang kurang tepat itu. Ini kalau di dunia kedokteran berpotensi terjadi malpraktik. Skala ringan hingga berat.
Kalimat no.6, sudah. Tidak perlu saya jelaskan. Dari penjelasan kalimat 1-5. Bisa saya katakan kalau murid itu tidak akan menerima nasihat ini. Sementara guru merasa tidak ada yang salah dari caranya.
Lalu bagaimana cara yang benar? Cobalah bermain ayunan dulu, nikmati, lalu temukan perasaan apa yang dimiliki anak saat wajahnya begitu antusias, riang, penuh tawa saat bermain ayunan itu…
Setelahnya nanti kita diskusi lagi. Karena cara, itu banyak sekali. Kadang bisa dari saya, bisa juga dari anda semua. Tapi yang benar sempurna, hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
==============
M.Taufiqurrahman.
Comments